Kamis, 15 Mei 2008

Dehumanisasi Praktik Manajemen Indonesia

Belum lama berselang diberitakan ada sekitar 600 orang pimpinan (CEO) perusahaan berskala global telah mengikuti konferensi UN Global Compact di Geneva, Swiss, untuk bertukar pikiran mengenai standardisasi perilaku moral dan etika praktik manajemen korporasi. Motivasi mereka berkumpul tak lain untuk merumuskan pijakan humanisasi organisasi bisnis yang lebih kokoh bagi peningkatan program pertanggungjawaban sosial perusahaan (corporate social responsibility), sehingga praktik manajemen mereka yang lazimnya berorientasi profit semata, semakin bergeser menjadi “memanusiakan manusia”. Wujud partisipasi konkretnya bisa mencakup upaya-upaya bersama untuk mengurangi kesenjangan kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan, menegakkan hak asasi manusia dan bahkan ikut aktif mengurangi wabah korupsi, terutama di belahan dunia Timur yang mayoritas warga masyarakatnya masih berkubang nestapa.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa para industrialis Barat belakangan ini semakin punya “hati” terhadap masyarakat Timur yang masih serba kekurangan. Agaknya mereka menyadari bahwa kerakusan meraup profit di belahan Timur lambat laun malah ikut menabur kemiskinan dan menebar kesenjangan materi antara Timur dan Barat, yang kemudian beresultante melahirkan perlawanan terselubung, berupa tumbuh kembangnya aksi-aksi terorisme global menentang hagemoni ekonomi dan bisnis Barat. Hal seperti itu jusru kontra produktif bagi kelanggengan dan kenyamanan usaha para industrialis Barat, dikarenakan dunia menjadi tidak aman lagi, serba rawan akan tindakan sabotase serta terorisme yang semakin marak, kian kuat militansinya, dan semakin rapih pengorganisasiannya.
Jangan dilupakan bahwa jika kini praktik manajemen di lahan kaum kapitalis Barat bisa sukses berkembang tanpa limit, justru dikarenakan pelaksanaannya sangat mengedepankan nuansa kemanusiaan. Refleksi praktik tersebut dapat terlihat antara lain dari terpeliharanya pelayanan publik secara prima, terhormatnya hukum sebagai panglima kebenaran, ternistanya korupsi, terjaganya kelestarian lingkungan, terawasinya mutu produk-produk industri, terlaksananya standardisasi upah pekerja yang memadai, terlindunginya hak konsumen, terciptanya keadilan sosial, teraktualisasinya demokrasi yang adil dan merata, terpeliharanya kesehatan masyarakat, dan terjaganya kualitas pendidikan yang unggul. Semangat kemanusiaan atau humanisasi di balik praktik manajemen ini secara konsisten dievaluasi, diperbaharui, dan disempurnakan seirama perkembangan zaman. Sayangnya hal-hal demikian acapkali luput dari perhatian para pengkritik kapitalisme.

Managing people

Pada mulanya, penerapan konsepsi ilmiah mengenai praktik manajemen yang pertama kali dirintis dan diaplikasikan di dunia bisnis Barat, seiring gelora revolusi industri di abad ke-18, sangatlah berorientasi pada upaya mengejar profit semata. Unsur manusia (buruh dan karyawan) hanya diposisikan “sejajar” dengan perangkat mesin di pabrik. Perang Dunia II yang terjadi akibat petualangan, persaingan, dan kerakusan mengejar profit – terutama di kalangan politisi dan industrialis - telah menyadarkan bangsa Barat akan pentingnya mengedepankan semangat kemanusiaan di balik tirai praktik manajemen bisnis mereka. Kemudian timbul kesadaran kolektif bahwa lunturnya kemanusiaan hanya berujung meletupkan konflik-konflik sosial yang parah di tengah masyarakat, bahkan sanggup memicu agresi liar peperangan yang memporak-porandakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak menyengsarakan semua pihak, baik kaum papa maupun kaum berpunya.
Tak heran jika seusai Perang Dunia II, para akademisi berbagai perguruan tinggi di Barat, terutama di Eropa, mulai aktif mensosialisasikan dan mengingatkan masyarakatnya bahwa esensi dari praktik manajemen adalah humanisasi: managing people. Bukan lagi hanya memanaj angka-angka, uang, teknologi, administrasi, ataupun tumpukan kertas, tetapi memanaj manusia yang punya eksistensi, cinta, rasa, dan martabat diri. Pada era inilah praktik manajemen versi ideologi kapitalisme mulai mengedepankan corak kemanusiaannya, khususnya yang diterapkan di negeri mereka sendiri. Hasilnya memang menakjubkan. Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Barat pun lantas menanjak pesat, peradaban bersinar, serta ilmu dan teknologi melejit tak alang kepalang, hingga detik ini.
Berbekal semangat humanisasi kapitalisme inilah mengalir paradigma mengenai orientasi praktik manajemen yang “memanusiakan manusia”, di mana gaungnya pun seringkali kita dengar di tanah air, seperti diperkenalkannya konsep manajemen altruistik (a social behavior carried out by an individual or organization to benefit another without anticipation of rewards from external sources), yang belakangan popular disebut sebagai manajemen berbasis pemangku kepentingan. Konsep inilah yang kemudian menginspirasi munculnya aktivitas CSR (Corporate Social Responsibility) oleh para industrialis di Indonesia. Menurut Winwin Yadiati, CSR didefinisikan sebagai “komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat luas” (PR, 2007). CSR mengilhami pula hadirnya gagasan maupun program filantropi global - MDGs (Millennium Development Goals) - yang diprakarsai para pelaku sektor publik, yang notabene disponsori dunia Barat.
Target penting yang dicanangkan program MDGs adalah untuk mengurangi kemiskinan global dengan terlebih dahulu menghilangkan permasalahan buta huruf, kemudian menjamin kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak di seluruh pelosok dunia. Program ini bertujuan pula memperluas pelayanan kesehatan bagi kaum papa, menegakkan kesetaraan jender dengan meningkatkan pemberdayaan kaum wanita, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta menghilangkan perdagangan dan perbudakan manusia. Kesemua sasaran tersebut diharapkan dapat dicapai selambat-lambatnya pada tahun 2015.

Dehumanisasi

Sayangnya di era reformasi ini, tren humanisasi praktik manajemen tak lantas diadopsi tulus hati oleh para pengambil keputusan di tanah air. Jika ada pejabat publik ataupun pebisnis kita yang berbicara kemanusiaan, rasanya “sulit dipercaya”, sebab faktanya hanya menjadi jargon pemanis belaka: lain di mulut lain di hati. Belum tegas terlihat motivasi kuat untuk menghadirkan semangat humanisasi di balik tirai praktik manajemen yang dicanangkannya itu. Malah yang nampak kasat mata setelah 10 tahun mengarungi samudera reformasi, justru menguatnya tren dehumanisasi praktik manajemen di bumi nusantara tercinta ini. Fenomenanya bisa nampak pada kenaikan drastis harga bensin demi mengurangi subsidi, tertatih-tatihnya penanganan korban Lumpur Lapindo, perubahan tarif jalan tol demi investasi baru, pemaksaan penggunaan kompor bertabung gas menggantikan minyak tanah, komersialisasi pendidikan demi peningkatan kualitas, standardisasi pengupahan yang masih pas-pasan, melonjaknya penghasilan pejabat publik tanpa diimbangi prestasi, karut-marut dan rawannya pelayanan publik, maraknya bunuh diri tanpa ada yang mau peduli, membumbungnya harga barang kebutuhan pokok sehari-hari, kerusakan lingkungan yang menggelindingkan bencana alam, minimnya perlindungan terhadap TKW penghasil devisa, serta hampanya penanganan gelombang kemiskinan maupun PHK yang kelak akan menjadi “bom waktu”.
Biasanya, dalam tren dehumanisasi praktik manajemen seperti itu, orang akan berkecenderungan menanggalkan pula etika dan moralita kerjanya. Narsisme dan egosentrisme akan menguat. Agama pun tergadaikan sebatas formalisme ritualitas belaka. Tujuan dari semua tingkah laku kolektif pun akhirnya direduksi menjadi satu kata: uang atau “profit”. Sepintas, perjalanan situasi ke-Indonesia-an saat ini boleh dibilang hampir identik dengan siklus sosial Eropa yang pernah mengagung-agungkan profit semenjak era revolusi industri hingga titik klimaks saat pecahnya Perang Dunia II. Tidak hanya itu, sejarah sebelum era itu pun senantiasa mengajarkan bahwa ketika area humanisasi suatu bangsa mengecil sehingga lokasi dehumanisasinya membesar, maka yang akan terjadi kemudian adalah konflik sosial berdarah, chaos, desintegrasi, atau bahkan kepunahan. Hal ini yang patut direnungkan dan dicermati bersama.
Walaupun hakekat reformasi adalah humanisasi di segala bidang kehidupan demi kemerdekaan jiwa dari tirani berpuluh-puluh tahun oleh bangsa sendiri, namun dalam kenyataannya reformasi belum juga berkesanggupan meredusir dehumanisasi praktik manajemen warisan Orla dan Orba. Bahkan demokrasi di era Orde Reformasi yang kita banggakan, hanya menghasilkan antrian panjang rakyat yang berebut sembako, atau berpanas-panas menunggu jatah minyak tanah. Penyempitan ruang humanisasi praktik manajemen seperti itu, bisa diprediksikan semakin memperlemah survival anak bangsa untuk bisa lolos dari krisis multi-dimensi hasil warisan dosa-dosa kesejarahan masa lalu. Hal tersebut jauh berbeda dengan masyarakat Barat, semisal Eropa, yang sukses meloloskan diri dari jerat dehumanisasi atas dosa-dosa kolektif dari jejak kekeliruan nurani masa lalunya. Fasilitas publik terus disempurnakan, terutama bagi para penyandang cacat, yang merefleksikan tanda-tanda semakin humanisnya praktik manajemen di sana. Gelimang kemakmuran tidak lantas membuat Uni Eropa takabur menyepelekan spirit humanisasi, justru sebaliknya semakin diperkokoh memperkaya peradaban mereka.
Dalam napak tilas pribadi, penulis bersyukur memperoleh kesempatan melakukan observasi empiris mempelajari dinamika Uni Eropa saat ini dengan menyusuri daratan Amsterdam-Brussels-Paris, menjelajahi kota hingga ke pelosok desa, berjumpa para petani, pengusaha, hingga kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi. Hal yang mengejutkan, umumnya orang di sana lebih antusias membahas perkembangan di Vietnam atau Malaysia. Bila berbicara mengenai Indonesia mereka lebih tertarik mempertanyakan permasalahan yang tengah dihadapi negara kita. Sungguh kontras dibandingkan dengan perjalanan yang sama era tahun 70-an, di mana penulis seringkali kewalahan menjawab pertanyaan tentang ketertarikan masyarakat Eropa akan eksotisme Indonesia.
Memang, Indonesia adalah negeri cantik yang tengah terbenam dalam pusaran arus beban permasalahan makro-sosial dan mikro-ekonomi yang datang secara bersamaan. Dalam situasi demikian tidak ada resep solusi teoritikal “mujarab” yang bisa diterapkan. Satu-satunya jalan terang yang terbuka hanyalah dengan kesadaran kolektif untuk menolak setiap langkah yang beraroma dehumanisasi sekaligus berkeberanian meng-humanisasi-kan praktik manajemen di negeri ini. Meletakkan kebijakan pondasi “memanusiakan manusia” di atas tirai perhitungan angka-angka presentase profit ataupun sederetan perhitungan statistik pertumbuhan yang kerap meninabobokkan realitas kemanusiaan di lapangan. Semoga di bulan suci Ramadhan yang sarat pesan empati sosial ini, nuansa kemanusiaan kita pun perlahan-lahan beranjak mekar, meneduhkan zaman yang katanya sudah bertambah edan.


--o0o--

Tidak ada komentar: